Wakaf di dunia Islam merupakan praktik yang sudah berakar lama dari semenjak zaman Rasulullah saw. Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti ‘Abbāsiyyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk melihat sejarah wakaf di dunia Islam, dalam bab ini ditampilkan empat Negara sebagai representasi praktis wakaf yang cukup berhasil, yaitu: Mesir, Arab Saudi, Turki, dan Malaysia.
- Mesir
Mesir adalah negara yang mengakui sistem wakaf sejak masuknya Islam. Pada era Mesir modern saat ini, ada badan wakaf yang didirikan oleh negara dan sepenuhnya bertugas membuat perencanaan, mengelola, mendistribusikan hasil wakaf dan menyampaikan laporan kepada Masyarakat.
Secara geneologis, lembaga wakaf di Mesir sudah ada pada masa dinasti Umayyah, pada saat hakim Mesir saat itu dijabat oleh Taubah bin Gar al-Ḥaḍramiy (Toba Ibn Nimer) pada masa khalifah Hisyām bin ‘Abdul Mālik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan perkembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.
Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh Negara Islam. Pada saat itu, hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf dibawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Ṣadr al-Wuqūf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Pada masa Dinasti Ayyūbiyyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, di mana hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan dikelola Negara serta menjadi milik Negara (baitul māl). Ketika Salahuddin al-Ayyūby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik Negara diserahkan kepada yayasan keaagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Faṭimiyyah sebelumnya, meskipun secara fikih Islam hukum mewakafkan harta baitul māl masih berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik Negara (baitul māl) kepada yayasan keagamaan dan sosial adalah Sultan Nūruddīn Zanki. Praktik ini mendapatkan legitimasi fatwa dari seorang ulama pada masa itu, Ibnu Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya. Fatwa itu menyatakan bahwa mewakafkan harta milik Negara hukumnya boleh (jawāz), dengan argumentasi (dalil) untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara.
Ṣhalāḥuddīn al-Ayyūby juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan. Beliau mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syāfi’i, madrasah madzab al-Māliki dan mazhab al-Ḥanafi. Wakaf kebun dan lahan pertanian di desa-desa untuk pendanaan pengembangan dan pembangunan madrasah-madrasah yang ada.
Seiring berjalannya waktu, praktik wakaf di Mesir berkembang pesat. Sekitar 40% dari total lahan pertanian di Mesir merupakan aset wakaf di samping sejumlah besar aset bergerak dan tidak bergerak yang dimiliki oleh berbagai lembaga wakaf di Mesir.
Hukum yang mengatur wakaf di Mesir pada masa awal adalah didasarkan pada prinsip-prinsip yurisprudensi Islam di mana tidak ada kodifikasi hukum wakaf yang terpisah, karena warisan Islam pada waktu itu adalah referensi utama yang menjadi sandaran umat Islam dalam mendirikan dan mengelola lembaga wakaf.
Hukum wakaf pertama kali berlaku di Mesir pada tahun 1525 M. Sejak itu wakaf di Mesir dikelola oleh para pendiri atau wakilnya (Mutawalli). Kemudian, pada masa pemerintahan Hisyām Ibn ‘Abdul Mālik (347‒196), administrasi wakaf pertama didirikan di bawah pengawasan hakim pada waktu itu. Lembaga wakaf di Mesir terus berkembang selama berabad-abad dan mengambil berbagai bentuk sejak tahun 1832 ketika Muḥammad ‘Ali Baṣah, penguasa Mesir mendirikan badan pemerintah pertama untuk administrasi wakaf.
Pada pergantian abad, ada beberapa upaya untuk mengembangkan hukum wakaf di Mesir. Upaya pertama diprakarsai oleh para sarjana dan anggota dewan legislatif pada awal abad ke-20. Upaya kedua adalah pada tahun 1926 dan menghasilkan persetujuan dari Kementerian Kehakiman seperti yang direkomendasikan oleh komite ulama senior dan ahli hukum.
Pada tahun 1946, hukum wakaf Mesir (No 48 Tahun 1946) dikeluarkan untuk mengatur lembaga-lembaga wakaf di Mesir. Selanjutnya dikeluarkan beberapa undang-undang lain untuk mengatur lembaga wakaf di Mesir (UU No. 247 Tahun 1953 dan UU No. 44 Tahun 1962). Akhirnya Presiden Mesir mengeluarkan Undang-Undang No. 80 Tahun 1971 tentang Pembentukan Badan Wakaf di Mesir. Undang-undang ini mengatur pembentukan Otoritas Wakaf Mesir sebagai badan hukum independen di bawah Kementerian Wakaf untuk diatur oleh Dewan Direksi.
Pada era sekarang, best practice dari pengelolaan wakaf di Mesir yang terkenal dan menjadi kiblat percontohan adalah model pengelolaan wakaf pendidikan Al-Azhar. Model pengelolaan wakaf Al-Azhar ini banyak menjadi rujukan bagi pengembangan wakaf di berbagai belahan dunia, karena menerapkan model pemberdayaan wakaf produktif. Oleh sebab itu Al-Azhar dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mampu membiayai operasional pendidikannya tanpa bergantung pada pemerintah dan pembayaran SPP siswa dan mahasiswanya. Al-Azhar bahkan mampu memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia.
b. Arab Saudi
Pengelolaan wakaf di kerajaan Arab Saudi, dikelola oleh sebuah departemen wakaf. Pada masa al-Mālik bin ‘Abd al-‘Azīz, pengelolaan wakaf seluruhnya dilakukan hakim, terkecuali Kota Makkah dan Madinah yang dikelola secara khusus sejak zaman Daulah Uṣmāniyah hingga pada tahun 1353 H/1934, kemudian dilebur menjadi satu. Tanah wakaf disekitar madinah dan makkah didirikan hotel dan hasilnya untuk merawat aset-aset penting dan disalurkan kepada yang memerlukan.
Pada tahun 1381 H/1961 M, Arab Saudi membentuk Kementerian Haji dan Wakaf secara resmi, yang salah satu tugasnya adalah mengelola seluruh harta wakaf di Arab Saudi. Kementerian ini mempunyai kewajiban mengembangkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif. Untuk itu, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi membuat peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 (30 Oktober 1966) sesuai dengan Surat Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386 (01 November 1966).
Majelis Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni menteri yang mengawasi wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk Majelis Tinggi Wakaf. Anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan, serta tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan.
Majelis tinggi wakaf Kerajaan Saudi Arabia ini mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkahlangkah dalam pengembangan dan pengelolaan wakaf bedasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif.
Disamping itu, majelis tinggi wakaf juga mempunyai beberapa wewenang antara lain sebagai berikut:
1) Melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara pengelolahannya.
2) Menenentukan langkah-langkah umum untuk menanam modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf.
3) Mengetahui kondisi wakaf yang ada.
4) Membelanjakan harta wakaf untuk kebijakan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif dan sesuai syariat Islam.
5) Menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu.
6) Menggambarkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengelolaan wakaf di Saudi Arabia pada umumnya digunakan untuk penguatan dan pengembangan dakwah Islam, baik di dalam negeri ataupun pengembangan dakwah ke berbagai belahan dunia. Beberapa pelaksanaan pengelolaan dan pengambangan wakaf dalam berbagai bentuknya sebagai berikut:
1) Perluasan masjid al-Haram dan masjid al-Nabawi dan masjid-masjid lainnya;
2) Fasilitas jalan umum seperti tol dari Jeddah ke Makkah dan Jembatan alMina serta masih banyak lainnya;
3) Fasilitas pemondokan dan saranan pendukung untuk jamaah haji;
4) Penerbitan dan percetakan mushaf Al-Qur’an dan membagikannya secara gratis ke berbagai belahan negara;
5) Berbagai pusat kajian dakwah, seperti di Argentina dan Spanyol. Berbagai lembaga pendidikan di Amerika, London, Albania, dan Moskow. Pusat kajian Islam seperti di Harvard University dan London;
6) Hingga pada pengembangan saham, pertokoan dan perhotelan di Madinah.
Dari berbagai pengelolaan dan pengembangan wakaf di atas, Saudi Arabia menghabiskan dana sebesar 6.585.871.433 riyal Saudi Arabia atau setara kurang lebih dengan Rp23,05 triliun.
c. Turki
Sejak abad lima belas, kerajaan Turki ‘Uṣmāni dapat memperluas kerajaannya, sehingga menguasai sebagian besar wilayah Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti ‘Uṣmāni secara otomatis mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, di antaranya adalah peraturan perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti ‘Uṣmāni ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah (01 Desember 1863). Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikat wakaf, dan cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf dalam sisi adminitratif dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah (1870 M) dikeluarkan undang-undang tentang kedudukan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf, sehingga banyak tanah yang berstatus wakaf terlindungi hingga saat sekarang.
Turki modern dikenal sebagai negara sekuler, tetapi peran dan fungsi pemberdayaan ekonomi umat melalui zakat serta wakaf mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sektor yang mendapat perhatian khusus adalah bidang pendidikan dan dakwah.
Pengelolaan wakaf di Turki ada dua model yaitu pertama, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf; kedua wakaf dikelola oleh mutawalli. Direktorat Jenderal Wakaf ditunjuk oleh perdana menteri dan berada di bawah Kantor Perdana Menteri. Di samping mengelola wakaf, Direktorat Jenderal Wakaf juga melakukan supervisi dan kontrol terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli. Dalam peraturan perundangan di Turki, lembaga wakaf harus memiliki dewan manajemen dan hasil pengembangan wakaf di Turki harus diaudit dua tahun sekali. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Wakaf memperoleh 5% dari pendapatan bersih wakaf sebagai biaya supervisi dan audit, namun tidak boleh lebih dari 1 juta Turki Lira.
Peran wakaf di Turki menunjukan kontribusi yang sangat besar dalam berbagai pembangunan. Dalam konteks pendidikan tinggi misalnya, mayoritasnya merupakan kontribusi wakaf yang dikelola secara professional. Murat Cizakca menyampaikan temuanya bahwa pada tahun 2017, 73 dari 186 perguruan tinggi di Turki merupakan perguruan tinggi wakaf. Di Istanbul terdapat 54 perguruan tinggi dan 42 di antaranya merupakan universitas berbasis wakaf.
Salah satu model pengelolaan wakaf untuk pendidikan yang sangat dikagumi di Turki adalah Yayasan Vehbi Koç, terutama setelah setelah Konstitusi 1982 mengizinkan pendirian lembaga pendidikan tinggi nirlaba. Di Turki dilarang mendirikan universitas yang berorientasi laba. Jika sebuah perusahaan memutuskan untuk mendirikan universitas, ia harus membuat lembaga wakaf terlebih dahulu, lalu kemudian mendirikan universitas melalui wakafnya.
Selain wakaf memiliki fungsi yang signifikan dalam pengembangan pendidikan dan dakwah di Turki, wakaf juga berperan dalam pembiayaan berbagai keperluan militer negara, seperti untuk memproduksi peralatan militer.
d. Malaysia
Pelaksanaan wakaf di negara Malaysia pada umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya. Pelaksanaan wakaf di Malaysia sudah mulai subur dan berkembang sejak 1800an, dipelopori oleh para pedagang Malaysia.
Lembaga yang berwewenang dan mengurus wakaf atau masalah keagamaan lainnya di Malaysia adalah Majelis Agama Islam Negeri. Dukungan pemerintah Malaysia terhadap wakaf diawali dengan pembentukan Jabatan Zakat, Wakaf dan Haji (JAWHAR) pada tahun 2004, dan Yayasan Wakaf Malaysia(YWM) pada tahun 2008.
Tujuan kedua instansi ini adalah mewujudkan lembaga pengelola wakaf yang bersih teratur, seragam, dan sah secara syara’ yang dapat membantu meningkatkan taraf hidup sosio-masyarakat di Malaysia.
Selain itu, Majlis Agama Islam pada setiap negeri di Malaysia menjadi pemegang amanah wakaf tunggal yang berfungsi sebagai pengelola wakaf. Tanah wakaf di Malaysia mencapai 11.091,82 hektar atau senilai RM99.329.170,69 setara dengan Rp327.786.263.277,00 yang sebagian besarnya terletak di Johor, Trengganu, dan Sabah.
Pengelolaan tanah wakaf banyak diperuntukkan untuk institusi pendidikan. Namun, dewasa ini, melalui kerja sama dengan berbagai pihak, baik instansi pemerintahan dan swasta, pengelolaan tanah wakaf mulai dikembangkan dengan berbagai model bisnis, seperti real estate dan perumahan dengan menggunakan prinsip sewa.
Lainnya, melalui prinsip muḍarabah, berbagai lembaga pembiayaan, seperti bank Islam, tabungan haji, dan koperasi dapat mengembangkan model-model wakaf kreatif dan inovatif. Sehingga isu sumber dana tidak lagi menjadi permasalahan dalam pengelolaan wakaf.
Sumber :
FIKIH WAKAF KONTEMPORER (Materi Musyawarah Nasional XXXII Tarjih Muhammadiyah 2024)