Dalam perspektif ulama fikih, ada berbagai perspektif unsur wakaf yang kemudian dikelompokkan ke dalam dua pandangan utama, yaitu Jumhur dan Ḥanafiyyah. Jumhur ulama dari Mālikiyah, Syāfi’iyyah dan Hanābilah berpendapat bahwa unsur wakaf ada empat yaitu: orang yang berwakaf (al-wāqif), harta yang diwakafkan (al-mauqūf), orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauqūf ‘alaih), dan ikrar (aṣ-ṣigat). Pendapat dari kalangan Syāfi’iyyah ini juga diungkapan oleh Muḥammad al-Zuḥailī.
Sedangkan ulama Ḥanafiyyah berpendapat bahwa wakaf itu hanya ada satu unsur yaitu ṣigat. Di antara alasan mengapa Ulama Ḥanafiyyah hanya menyebut ṣigat sebagai unsur wakaf, karena ṣigat itu sudah mencakup unsur-unsur lainya. Ṣigat tidak akan terlaksana tanpa adanya seorang wakif (orang mewakafkan), karena wakiflah yang mengikrarkan kehendak wakaf itu. Ṣigat juga terkait dengan adanya harta yang harus diserahkan sebagai wakaf (mauqūf), tanpa adanya ikrar (ṣigat), maka harta itu tidak menjadi harta wakaf (mauqūf).
Dengan ungkapan lain bahwa ṣigat adalah unsur pengikat sementara yang lainya adalah bagian yang terikat. Sehingga menyebutkan unsur yang mengikat adalah cukup, karena unsur lainya yang terikat akan menjadi bagian di dalamnya.
Sementara dalam perundang-undangan di Indonesia tentang wakaf, bahwa unsur wakaf mengalami perluasan (penambahan) dua unsur dari yang diungkapkan oleh Jumhur ulama, yaitu jangka waktu dan Nazir (pengelola wakaf).
Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, misalnya disebutkan bahwa unsur wakaf ada enam, yaitu: orang yang berwakaf (wakif), pengelola wakaf (Nazir) harta wakaf (mauqūf), penerima manfaat/tujuan wakaf (mauqūf alaih), ikrar wakaf (ṣigat ), dan jangka waktu wakaf.
- Orang yang Berwakaf (Wakif)
Muḥammad az-Zuḥailī, mengungkapkan bahwa al-wāqif adalah orang yang berkehendak untuk menahan hartanya dan mengalirkan manfaatnya di jalan Allah. Menurut para ulama, seorang wakif harus memenuhi beberapa syarat untuk memawakafkan hartanya. Muḥammad az-Zuḥailī menyebut ada empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang wakif, yaitu:
Pertama, al-taklīf yaitu orang yang sudah terkena beban hukum (baligh dan berakal). Sehingga tidak sah, wakaf dari anak-anak dan orang gila. Karena keduanya tidak dianggap secara syariat. Demikian halnya, walinya juga dianggap tidak sah menggantikan kedudukanya dalam berwakaf.
Kedua, al-ikhtiyār, yaitu tidak ada keterpaksaan di dalam berwakaf. Seseorang melakukan wakaf berdasarkan kesadaran tanpa pemaksaan pihak lain.
Ketiga, memiliki harta (milk al-‘ain). Seorang wakif harus memiliki harta untuk diwakafkan. Karena wakaf adalah mengalihkan kepemilikan harta kepada pihak lain untuk kemanfaatan yang lebih besar. Ketika seseorang tidak memiliki harta, tentunya dia tidak mampu untuk memberikan dan mengalihkan harta itu.
Keempat, ahliyat at-tabarru’. Seorang wakif disyaratkan sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan harta secara suka rela (at-tabarru). Ketika seseorang itu dalam kondisi dibawah pengampuan karena kebodohan, atau karena kebangrutan, maka wakafnya tidak sah.
Sedangkan Syaikh Wahbah az-Zuḥailī, menyebut empat yaitu: seorang wakif adalah merdeka dan pemilik harta, 2) seorang wakif adalah berakal (memiliki akal), 3) wakif adalah baligh (dewasa), dan 4) seorang wakif adalah rāsyid, yaitu tidak dalam pengampuan seperti karena bangkrut dan ketidakmampuan akal.
Dari persyaratan yang ditentukan di atas, seorang wakif (wāqif) tidak disyaratkan harus beragama Islam, berilmu, dan sehat. Pertama, seorang wakif tidak harus beragama Islam, yaitu wakaf dari seorang yang kafir boleh diterima dan dimanfaatkan untuk kepentingan kaum muslimin seperti untuk membangun masjid, karena ia termasuk ahli tabarru’ terhadap harta yang dimiliknya itu.
Selama orang yang mewakafkan itu tidak mensyaratkan untuk perbuatan maksiat, tetapi untuk kebaikan dan selaras dengan kemaslahatan syariat Islam, maka wakaf orang kafir itu sah dan boleh diterima dan dimanfaatkan dengan baik. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.:

Kedua, seorang wakif tidak harus mampu melihat terhadap harta yang ia miliki yang hendak diwakafkan. Sehingga sah wakaf seorang yang buta yang mana tidak mengetahui harta yang dimilikinya itu.
Ketiga, seorang wakif tidak harus sehat secara jasmani, sehingga wakaf seorang yang sakit menjelang kematianya adalah sah. Ini juga dalam rangka untuk menjaga kemaslahatan hartanya untuk mendapatkan pahala di sisi Allah tetapi seorang wakif dibatasi terkait dengan jumlah harta yang diwakafkan yaitu maksimal 1/3 (sepertiga) dari keseluruhan harta yang ia miliki.
2. Pengelola Wakaf (Nazir)
Nazir adalah orang yang mengurus dan mengelola wakaf. Kata Nāẓir berasal dari kata naẓara yang bermakna melihat dan mengawasi. Menurut Muḥammad az-Zuḥailī, bahwa Nazir adalah kewenangan terhadap pengurusan persoalan wakaf, penjagaan terhadap harta wakaf, pelaksanaan pemenuhan segala persyaratan wakaf, mendistribusikan segala hasil dan mafaat wakaf, penjagaan terhadap kemaslahatan wakaf, penjagaan terhadap pewujudan tujuan-tujuan wakaf.
Menurut az-Zuḥailī, bahwa orang yang paling berwenang dalam pengurusan wakaf adalah orang yang telah ditentukan oleh wakif (wāqif), karena dia adalah orang mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekah yang ia lakukan, kemudian dia menyertainya dengan ikrar dan syarat dalam pengurusan wakafnya itu.
Oleh karena itu, sekiranya seorang wakif (wāqif) mensyaratkan dalam pengurusan wakafnya itu adalah dirinya sendiri, maka dia adalah orang yang paling berhak untuk itu, karena dia adalah orang yang paling berharap mendapatkan pahala dari sisi Allah. Sekiranya seorang wakif (wāqif) mensyaratkan bahwa pengurusan terhadap harta wakafnya itu adalah orang lain, maka orang yang mengurusnya itu harus mengikuti syarat yang telah ditentukan oleh wakif itu.
Untuk Nazir wakaf, para ulama telah menentukan beberapa syarat bagi seseorang untuk bisa menjadi seorang Nazir wakaf. Menurut Muḥammad azZuḥailī, bahwa seorang Nazir wakaf disyaratkan mampu melaksanakan kewenangan dalam pengelolaan wakaf, dengan disandarkan pada ketentuan syarat taklif, yaitu ada dua syarat utama:
- Adil (al-adālah), yaitu komitmen terhadap hukum syariat dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan, karena pengurusan wakaf merupakan salah satu bentuk kewenangan (wilāyah). Keadilan itu dipersyaratkan dalam konteks semua persoalan kewenangan syarak (al-wilāyah al-syar’iyyah). Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menjamin kelestarian wakaf dan pelaksanaan pengurusanya yang dilakukan dengan amanah dan benar.
- Memiliki kemampuan yang memenuhi persyaratkan (al-kifāyah), yaitu kelayakan seorang Nazir untuk mengurus segala kewenangan wakaf dengan memiliki kekuatan kepribadian (quwwah al-syakhṣiyyah) dan kemampuan managerial yang baik (al-qudrah ‘ala al-taṣarruf) sebagai seorang Nazir.
Tugas utama seorang Nazir wakaf adalah mengurus harta wakaf. Muḥammad az-Zuḥailī, mengungkapkan bahwa tugas Nazir wakaf dapat dibedakan dalam kontek umum dan khusus.
Dalam kontek umum, tugas seorang Nazir wakaf adalah menjaga kelangsungan harta wakaf, memakmurkannya, memperbaikinya, menyewakannya, menghasilkan buahnya, mendistribusikan kepada orang yang berhak berdasarkan syarat yang telah ditentukan oleh wakif, dan menjaga keberadaan harta wakaf asal dan hasilnya dengan hati-hati.
Sementara dalam konteks khusus, bahwa kewenangan seorang Nazir dibatasi oleh syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh wakif. Pertama, wakif menyerahkan kepada Nazir pengelolaan sebagian persoalan wakaf, yang tidak boleh melampui kewenagannya itu mengikuti persyaratan yang telah ditentukan wakif. Disini, Nazir berfungsi seperti wakil yang mengelola dalam batas-batas tertentu apa yang diwakilkan kepadanya, dan seorang Nazir membantu Nazir yang lain dalam mengurus persoalan wakaf.
Kedua, seorang wakif mensyaratkan pengeloaan wakafnya kepada dua orang secara bersamaan, di mana masing-masing Nazir tersebut saling terikat antara satu dengan lainya dalam pengurusan wakaf.
Sedangkan dalam konteks perundangan Indonesia, bahwa tugas Nazir diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam pasal 11, disebutkan bahwa tugas seorang Nazir meliputi:
- Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
- Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, serta peruntukannya;
- Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; dan
- Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Nazir bisa diberhentikan dan diganti dengan Nazir lain bila yang bersangkutan:
- Meninggal dunia bagi Nazir perseorangan;
- Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk Nazir organisasi badan hukum;
- Atas permintaan sendiri;
- Tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan/atau melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan
- Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam konteks organisasi, UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 9- 14, juga mengatur tentang Nazir wakaf dalam bentuk organisasi. Dalam ketentuan ini, Nazir wakaf organisasi disyaratkan sebagai berikut:
- pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat Nazir perorangan.
- Organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.
Sedangkan Nazir badan hukum syaratnya adalah:
- pengurus Badan Hukum yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat Nazir perorangan.
- Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Badan Hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.
Sumber :
FIKIH WAKAF KONTEMPORER (Materi Musyawarah Nasional XXXII Tarjih Muhammadiyah 2024)