Sejarah wakaf dan perwakafan di Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari dinamika perwakafan di Nusantara kala itu (mencakup semenanjung MalayaMalaysia dan Indonesia) pada umumnya, yang pembahasan di dalamnya terkait dengan bagaimana umat Islam mengelola dana filantropi Islam, sebagai salah satu sumber untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa umum (public good). Tentu dinamika sejarah wakaf di Nusantara, sebagai wilayah pinggiran (periphery) Islam, berbeda dengan wilayah Islam lain pusatnya seperti di Timur Tengah.
Jika ditelisik, wakaf sebagai sebuah istilah jarang disebutkan dalam banyak dokumen sejarah di Nusantara, semisal dalam catatan perjalanan dan undangundang, kecuali salah satunya termaktub dalam Undang-Undang Pahang (Malaysia, 1596 M) di masa Sultan Abdul Ghafur (1592-1614) pada pasal 42 yang isinya mengikuti uraian wakaf dalam mazhab Syafii.
Meski demikian secara umum setelah penyebaran dan kedatangan Islam di Nusantara, umat Islam telah mempraktikan wakaf dan jenis filantropi Islam lainnya, khususnya wakaf untuk masjid yang banyak didirikan oleh penguasa (kesultanan), seperti Aceh, Banten, Cirebon, Demak, Sumenep (Wakaf Sultan Notokusumo abad ke18) dan Yogyakarta.
Wakaf untuk masjid juga dilakukan oleh para pemimpin agama, ulama dan penyebar agama Islam seperti Walisongo di Jawa dan juga oleh masyarakat umum, khususnya di pedesaan. Tradisi masyarakat Islam di pedesaan dalam membangun masjid lewat pengumpulan sumbangan atau seorang yang kaya mewakafkan tanahnya, ini memang tidak kemudian menyebutkan secara eksplisit sebagai masjid wakaf.
Selain wakaf untuk masjid, terdapat jenis wakaf lain yang dipraktikan, antara lain wakaf, buku, wakaf sumur, wakaf kapal, dan wakaf pemondokan penginapan. Wakaf buku dilakukan oleh Maulana Muḥammad (putra Maulana Yusuf) di Kesultanan Banten dan sebaliknya banyak buku yang diwakafkan untuk para Sultan oleh para penyalin buku. Wakaf kapal untuk kepentingan pelayaran haji yang diberikan oleh Sultan Akbar (1556-1605) dari kerajaan Mughal (India) untuk para jamaah haji dari Banten.
Wakaf pemondokan atau penginapan berasal dari para sultan di Nusantara saat itu di Mekah dan Madinah, seperti dari penguasa Riau, Raja Ahmad (ayah Raja Ali Haji) dan Hamengkubuwono VII dari Yogyakarta, di mana tujuannya untuk kepentingan jamaah haji dari wilayah kekuasaan Sultan tersebut serta sebagai tempat tinggal para pelajar dan mahasiswa.
Di antara yang masih terekam dan terawat adalah wakaf Baitul Asyi Habib Bugak untuk jamaah haji dari Aceh, di mana kini di atas tanah wakaf tersebut dibangun hotel penginapan yang dikelola oleh sebuah perusahaan manajemen aset dan hasil investasi wakaf komerial-produktif ini diberikan kepada mauqūf alaihi, yaitu para jamaah haji Aceh setiap musim haji, pada 2017 misalnya, ada sekitar 4.939 jamaah haji Aceh menerima 1200 riyal perorang (sekitar 4,2 juta).
Model yang sama juga dilakukan untuk tanah wakaf sahabat Utsman bin Affan yang kini dibangun hotel penginapan yang menghasilkan manfaat dan ditujukan untuk pembangunan sosioekonomi, termasuk untuk pengentasan kemiskinan dan dana operasional komplek Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Sejarah wakaf di Muhammadiyah erat terkait dengan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang menurut Hamka dilatarbelakangi oleh keterbelakangan masyarakat Muslim seperti meninggalkan Al-Qur’an dan Hadis, kemiskinan parah, dan buruknya pendidikan Islam.
Untuk itu, konsentrasi pembaharuan yang dilakukan Kiai Dahlan menurut Hamka adalah gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, pendirian panti asuhan, rumah sakit, rumah miskin, pendirian sekolah-madrasah, dan penerbitan untuk dakwah. Untuk mewujudkan misi tersebut, Kiai Dahlan dan para pemimpin awal Muhammadiyah berusaha memfungsikan sumber-sumber filantropi Islam, seperti donasi (sedekah, infak), zakat, dan wakaf.
Setelah kejadian huru-hara Langgar Kidulnya dirobohkan pada tahun 1920- an, Kiai Dahlan mengungsi ke rumah sahabatnya yang bernama M. Hanie (A.D Hanie) di Kampung Karanganyar Brontokusuman Yogyakarta, kemudian beliau diamanahi mengelola aset tanah wakaf Haji Irsyad. Di atas tanah ini, bersama A.D Hanie, beliau mendirikan sebuah bangunan yang digunakan untuk pengajian Wal Fajri. Kini di atas tanah wakaf tersebut, berdiri Masjid Al-Irsyad, bangunan Taman Al-Qur’an, dan Kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Mergangsan, yang dikelola oleh Nazir Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Sebagai ketib amin, masjid Besar Kesultanan Yogyakarta sebagai masjid wakaf dari Sultan Yogyakarta, Kiai Dahlan dalam hal ini diposisikan sebagai Nazir wakaf untuk mengelola dan memberdayakannya.
Beberapa harta benda dan aset wakaf pun kemudian tercatat menopang misi Gerakan Muhammadiyah pada masa awal pendiriannya antara lain: Wakaf Raden Haji Ali di Kauman dengan peruntukan untuk Mushala khusus perempuan Aisyah pada tahun 1923; Wakaf untuk panti Asuhan Muhammadiyah (putra sekarang) di Lowanu Mergangsan Yogyakarta yang diinisiasi dan dikelola oleh Muhammadiyah Bagian Penolong Kesengaraan Umum pada tahun 1921 dan kemudian dipecah pada 1928 untuk Panti Asuhan Putri Aisyiyah di Serangan Ngampilan Yogyakarta tahun 1939, dengan tanah wakaf seluas 11.930 m3 yang kini juga dimanfaatkan untuk kampus Universitas Aisyiyah Yogyakarta; Komplek tanah wakaf dari Haji Fachrodin untuk pendidikan dan dakwah Islam yaitu frobel atau Taman Kanak-kanak Aisyah Bustanul Athfal dan rumah pengajian (Gedung Pesantren Aisyiyah) di Kauman, serta komplek Kwekschool Istri di Notoprajan (kini Madrasah Mu’allimat). Wakaf tanah dan bangunan untuk rumah miskin Muhammadiyah di pinggir sungai Winongo Serangan Ngampilan Yogyakarta (kini PAUD dan TK ABA Nurul Aini).
Selain wakaf tanah dan bangunan, saat itu juga tercatat banyak properti-harta benda dan aset yang diwakafkan kepada Muhammadiyah, beberapa di antaranya adalah wakaf mobil (auto) untuk operasional organisasi dan departemennya hingga wakaf sepeda untuk kepentingan dakwah para dai-muballigh Muhammadiyah.
Fenomena wakaf Muhammadiyah pada era pra kemerdekaan ini pun menjadi tradisi filantropi yang meluas seiring dengan perkembangan nasional Muhammadiyah di Hindia Belanda dan Nusantara saat itu, di mana tercatat pada tahun 1925, Muhammadiyah mempunyai 8 Hollands Inlandse School, sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar, 14 madrasah, dua buah klinik, sebuah rumah miskin dan dua buah rumah yatim.
Fenomena nasional wakaf Muhammadiyah juga tercatat dalam rubrik Shahifah Tardjih yang diasuh oleh Majelis Tarjih dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 12 1942, di mana Muhammadiyah Daerah Aceh dalam putusannya membolehkan mendirikan suatu rumah atau masjid (tempat ibadah) untuk wakaf di suatu pekarangan sebagai peringatan untuk orang yang meninggal (kemungkinan nama wakif yang meninggal diabadikan sebagai nama bangunan wakaf tersebut), asalkan jauh dari keadaan yang memungkinkan membawa pada kesyirikan.
Oleh karena itu, aktivitas dan gerakan wakaf serta filantropi Islam pada umumnya di persyarikatan Muhammadiyah dilandasi oleh tiga basis kedermawanan, yaitu teologi Al-Mā’ūn, modernisme dan puritanisme.80 Pengaruh modernisme menjadikan Muhammadiyah sebagai pionir pembaharuan manajemen filantropi Islam di Indonesia, yang salah satunya dalam hal ini pengadministrasian tanah-tanah wakaf, sebagaimana salah satunya tercermin dalam dokumen Khittah Muhammadiyah 1956-1959, butir tiga “mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi”, nomor 5: Memelihara harta benda/kekayaan Muhammadiyah (inventaris) dengan baik dan teliti sesuai dengan pemeliharaan seorang terhadap amanat yang dipercayakan.
Pun dalam Anggaran Dasarnya, secara eksplisit Muhammadiyah menyebutkan bahwa wakaf menjadi salah satu sumber keuangan organisasi bersama zakat dan derma. Hal ini terkait dengan struktur perwakafan di Muhammadiyah yang bersifat sentralisasi dalam hal kepemilikan aset dan properti, bahwa semua harta kekayaan dan aset Muhammadiyah dari Sabang sampai Merauke di atasnamakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun pengelolaan dan pengembangannya terdesentralisasi ke beragam amal usaha di bawah strukturnya, mulai dari amal usaha pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Muhammadiyah dalam mengelola tanah dan properti wakaf lainnya dilakukan oleh suatu institusi-Majelis tertentu (representasi Nazir Muhammadiyah pada umumnya) dalam struktur organisasinya. Pada awalnya hal itu dilaksanakan oleh Lembaga Penolong Kesengsaraan Umum, lalu berganti nama menjadi Wakaf dan Kekayaan (1952), Pembina Kesejahteraan Umat (1974), Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat, Pemberdayaan Masyarakat, lalu tahun 2005 menjadi Majelis Wakaf dan ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah), dan tahun 2010 hingga sekarang menjadi Majelis Wakaf dan Kehartabendaan yang strukturnya hingga tingkatan pimpinan Daerah. Secara organisasi, pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo tahun 2022, majelis ini diubah nomenklaturnya menjadi Majelis Pendayagunaan Wakaf.
Muhammadiyah telah resmi menjadi Nazir dan pengelola harta benda wakaf sejak memperoleh status badan hukum (rechtpersoon) tahun 2014 dari pemerintah Hindia Belanda hingga diakui oleh Undang-undang no. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dan terakhir pada akhir tahun 2020, Muhammadiyah juga telah resmi menjadi Nazir wakaf uang yang mempunyai alur khusus dalam pengelolaannya dibandingkan dengan harta benda wakaf lainnya seperti tanah dan bangunan.
Salah satu contoh bagus akan pengelolaan wakaf uang di Muhammadiyah dilakukan oleh Badan Wakaf Uang Muhammadiyah Sumatera Barat yang didirikan pada tahun 2011 dan kini telah mengelola dana wakaf uang lebih dari Rp 2 milyar. Hasil investasi dari dana wakaf uang ini kemudian diberikan kepada mauqūf alaih dalam bentuk pelayanan kesehatan gratis, beasiswa Pendidikan dan modal usaha bagi fakir dan miskin.
Sumber :
FIKIH WAKAF KONTEMPORER (Materi Musyawarah Nasional XXXII Tarjih Muhammadiyah 2024)