3. Harta Wakaf (Mauqūf)
a. Pengertian
Keputusan Muktamar Tarjih ke-20 tahun 1976 menyebutkan bahwa harta atau māl ialah segala yang dianggap sebagai benda yang dapat dipergunakan manfaatnya sebagai harta, sebagaimana juga yang dapat dinilai dengan harga sebagai harta, betapapun macamnya dan seberapapun nilainya. Berdasarkan putusan ini dapat dipahami bahwa harta ialah segala benda maupun non-benda yang dapat dipergunakan manfaatnya dan memiliki nilai jual yang akan terus melekat padanya.


b. Fungsi Harta
Segala sesuatu di alam semesta ini pada dasarnya milik Allah, termasuk harta yang diberikan kepada manusia oleh-Nya. Manusia memiliki hak untuk memanfaatkan dan memiliki harta tersebut, dengan syarat tidak melampaui batas-batas yang ditentukan oleh agama Islam. Dalam Islam, tiap-tiap individu diberi kekuasaan untuk mengambil dan memiliki kekayaan alam sejauh kemampuan dan kecakapannya. Namun, ada ketentuan yang harus diikuti, yaitu tidak menimbulkan kerugian atau bahaya pada orang lain, serta memanfaatkan hasil dari harta tersebut sebaik-baiknya.
Harta dalam Islam, disebut sebagai ni’mah (kenikmatan) sekaligus niqmah (ancaman). Dengan kata lain, harta itu berguna tetapi tidak dipungkiri juga dapat mengakibatkan bahaya. Sebagai sebuah alat di luar diri manusia, apabila digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, harta akan bertransformasi menjadi lumbung pahala dan rahmat; namun, bila dipergunakan untuk segala yang memudaratkan, akan menjadi dosa yang berakibat pada kerusakan dan kesengsaraan baik di dunia dan akhirat.
Karena harta memiliki potensi yang dapat menghasilkan rahmat, kepemilikan harta merupakan sesuatu yang penting. Pemahaman keliru muncul dari orang-orang yang menentang kepemilikan harta dan mengajukan pandangan untuk menjauhinya, terinspirasi oleh ajaran-ajaran pasif yang telah mendominasi dunia Islam selama beberapa abad terakhir. Ajaran tersebut mendorong untuk menghindari keduniaan dan meninggalkan segala bentuk kenikmatannya. Biasanya kalangan pasif ini terinspirasi dari QS alKahfi ayat 46:

Meskipun Islam memberikan hak-hak asasi kepada individu, setiap orang juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak asasi orang lain.
Oleh karena itu, individu tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini, harta yang dimiliki individu memiliki fungsi sosial. Kesejahteraan masyarakat termasuk diri sendiri menjadi tujuan dari kepemilikan harta tersebut. Masyarakat memiliki hak untuk ikut campur dalam kepemilikan harta individu, namun dalam batas-batas moral, keadilan, dan perikemanusiaan.

Dalam Islam, hak-hak asasi, seperti hak agama, jiwa, akal, harta, keturunan, kehormatan, dan kebebasan, harus dilindungi dan dipertahankan. Setiap individu memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, harta kekayaan atau māl yang dimiliki individu seharusnya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, harta dalam perspektif Islam, bukan hanya menjadi hak pribadi, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Pemahaman ini menunjukkan bahwa kepemilikan harta tidak hanya sebagai kepentingan diri sendiri, melainkan juga sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan bersama dan pemeliharaan hak-hak asasi setiap individu.
c. Macam-Macam Harta
Dalam Islam, konsep harta memiliki dua dimensi utama, yaitu amwāl ’āmmah (harta umum) dan amwāl khāṣṣah (harta khusus). Dalam istilah yang lebih spesifik, amwaal ’āmmah dapat diidentifikasi sebagai “baitul māl,” yaitu kumpulan harta yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Harta ini berada di bawah pengawasan penguasa atau badan-badan yang dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya sesuai dengan norma agama, untuk kepentingan dan kemaslahatan umum.
Di sisi lain, amwāl khāṣṣah merujuk pada harta yang menjadi kepunyaan individu. Islam mengakui hak milik pribadi atas harta ini, memberikan pemiliknya wewenang untuk memanfaatkannya sepanjang hidupnya, bahkan setelah meninggal, harta tersebut dapat diwariskan kepada ahli waris.
Penting untuk dicatat bahwa hak milik pribadi dalam Islam tidak bersifat mutlak. Harta yang dimiliki tidak dapat digunakan sembarangan tanpa mempertimbangkan kewajiban-kewajiban terhadap harta tersebut. Sebab, pada dasarnya, segala harta-benda adalah milik Allah. Seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an (QS an-Nur: 33), manusia diminta untuk memberikan sebagian dari harta Allah yang telah diberikan kepada mereka. Islam memberikan hak dan wewenang pemilik harta untuk mempertahankan harta miliknya dari gangguan atau pelanggaran oleh orang lain.
Bahkan, orang yang terbunuh dalam usaha mempertahankan hartanya dianggap sebagai syahid, menurut riwayat hadis dari al-Bukhari:

Pentingnya memahami bahwa hak milik pribadi bukanlah kebebasan sepenuhnya untuk menggunakan harta sekehendak hati. Setiap pemilik harta diingatkan akan tanggung jawab moral dan agama terhadap pengelolaan harta, termasuk kewajiban dan larangan tertentu yang harus diindahkan.
Dalam Islam, taṣarruf hak-milik, atau penggunaan hak milik, memiliki batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi. Manusia hanya diberi wewenang oleh Allah untuk memanfaatkan harta dengan sebaik-baiknya, dengan tujuan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia secara keseluruhan, tanpa merugikan pihak lain. Dengan demikian, pemahaman akan kewajiban dan larangan terkait harta menjadi esensi dalam menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.