Sebagai bagian dari ajaran Islam maka sejarah wakaf di Indonesia tentunya setua sejarah Islam di Nusantara. Banyak jejak sejarah yang menunjukkan bahwa wakaf telah dipraktikkan di berbagai tempat di Nusantara, bahkan menjadi bagian adat sosial masyarakat dalam menyediakan berbagai fasilitas publik seperti masjid, makam, madrasah/pondok pessantren, bahkan lahan produktif.
Di Banten ada istilah “Huma Serang” yang merupakan ladang-ladang di mana pengelolaannya secara bersama-sama serta digunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok juga ada istilah “Tanah Pareman” yang merupakan tanah Negara yang dibebaskan dari pajak, “Landrette”. Hasil dari tersebut diserahkan ke desa-desa, subak dan Candi untuk kepentingan umum.
Adapun diwilayah Jawa sendiri tepatnya di Jawa Timur ada istilah tanah “Perdikan” yang merupakan tanah pemberian Raja kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah berjasa. Tanah ini mempunyai kemiripan dengan wakaf ahli (wakaf untuk keluarga) dari segi fungsi dan pemanfaatannya, tanah perdikan pun tidak boleh dijual belikan.
Beberapa masjid bersejarah bahkan merupakan wakaf dari para raja atau ulama pada waktu itu. Sedikit contoh, antara lain, masjid Agung Demak adalah wakaf Raden Patah, Masjid Menara Kudus wakaf dari Sunan Muria; Masjid Jamik Pangkalan wakaf dari Sultan Abdul Qodirun; Masjid Agung Semarang wakaf dari Pangeran Pandanaran; Masjid Ampel di Surabaya wakaf dari R. Rochmat Sunan Ampel; Masjid Agung Kauman di Yogyakarta wakaf dari Sultan Agung; Masjid Agung Kauman di Solo wakaf dari Susuhunan Paku Buwono X, dan lain-lain.
Sedikit catatan menginformasikan bahwa selama abad XVI tercatat ada enam buah wakaf dengan luas 20.615 m2 berdasarkan catatan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya jumlah wakaf bertambah pada pertengahan abad XVIII yaitu sebanyak 61 wakaf (57 wakaf tanah kering, dan 4 wakaf sawah) dengan luas 94.071 m2.
Kemudian catatan wakaf bertambah lagi pada abad XIX dengan 303 lokasi tanah wakaf. 72 Mengutip catatan pemerintah Hindia Belanda Staatsblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), menyatakan bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Moskeembtsvendem) untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan makam keramat (wali) yang ada di lingkungan masjid-masjid tersebut. Hal ini sebenarnya dapat dikatakan merupakan praktik awal wakaf produktif yang popular saat ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, wakaf semakin penting di dalam penyediakan berbagai keperluan umat dalam penyediaan berbagai fasilitas sosial, pendidikan, kesehatan, ibadah, bahkan perekonomian bagi masyarakat sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Masjid, sekolah, universitas, makam, rumah sakit, pondok pesantren, pasar, dan lain-lain banyak didirikan dengan menggunakan harta wakaf.
Menurut data Kemenag RI, pada tahun 2022 jumlah tanah wakaf 440.5 ribu lokasi dengan luasan lebih dari 54.128, 54 Ha yang dikelola oleh ribuan Nazir (perseorangan, organisasi, maupun badan hukum). Menyempurnakan berbagai regulasi perwakafan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, pengelolaan wakaf di Indonesia semakin berkembang dengan diterbitkanya Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf dengan segala kelengkapannya.
Bentuk wakaf pun tidak lagi melulu tanah atau bangunan, namun juga wakaf uang (cash waqf) yang saat ini dikelola oleh 285 Nazir Wakaf Uang yang bekerja sama dengan sekitar 25 Bank Syariah. Potensi wakaf uang ini diperkirakan mencapai Rp 180 trilyun pertahunnya. Konsep pengelolaan wakaf telah berkembang untuk menyediakan fasilitas publik yang dikelola secara produktif dan inovatif sehingga lebih berdayaguna dan cepat berkembang.
Wakaf disamping untuk penyediaan fasilitas publik, juga untuk menghasilkan pendapatan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. Inilah yang disebut wakaf produktif. Bahkan, wakaf telah diadopsi untuk pengembangan instrument keuangan negara dengan diterbitkannya Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) pada tahun 2017.
Secara umum perwakafan di Indonesia terus semakin mengalami peningkatan dalam segala sisi, walaupun masih perlu perbaikan di sana-sini. Indeks Wakaf Nasional (IWN) pada tahun 2022 mencapai 0,274 (kategori Cukup), meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 0,139 (kategori Kurang). IWN mengukur aspek perwakafan secara komprehensif, meliputi regulasi, kelembagaan, system, proses, hasil serta dampaknya terhadap kesejahteraan umat.
Sumber :
FIKIH WAKAF KONTEMPORER (Materi Musyawarah Nasional XXXII Tarjih Muhammadiyah 2024)